Usaha sablon kaus sudah jamak ditemukan di pelbagai
daerah di Indonesia. Namun, usaha sablon kaus satuan merupakan sesuatu
yang baru. Selama ini, pelaku usaha sablon kaus hanya melayani order
dalam jumlah banyak.
Purnama Murdiana pun masuk ke usaha ini
untuk mengisi kekosongan itu. Dengan mengusung brand Sablon Koas Satuan
atau Sakasa, ia melayani order sablon kaus dalam jumlah satuan atau
beberapa potong saja.
Mendirikan usaha tahun 2009 di Klender,
Jakarta Timur, ia resmi menawarkan kemitraan pada 2010. Saat ini,
Sakasa telah memiliki delapan cabang di Jabodetabek. Dari jumlah itu,
cabang milik sendiri hanya satu. Selebihnya milik mitra usaha.
Selain melayani sablon kaus, Sakasa juga melayani sablon jaket sweater. Kaus dan sweater-nya
sendiri sudah mereka sediakan. Konsumen tinggal memilih gambar sablon
yang diiinginkan. Harga setiap satu kaus dibanderol Rp 55.000. Harga
sudah termasuk biaya sablon tiga warna ukuran A4.
Sementara untuk sweater dibanderol
Rp 70.000 - Rp 80.000 per potong, dengan dua sampai tiga warna sablon.
Ukuran gambarnya juga sebesar A3. Selain melayani order dalam jumlah
satuan, Sakasa juga melayani pesanan grosir. Pada layanan grosir ini,
konsumen harus memesan minimal tujuh potong kaus atau sweater.
Untuk harga grosir kaus dipatok Rp 45.000. Sedangkan harga grosir sweater mulai Rp 55.000 - Rp 75.000. "Harga tergantung gambar dan banyaknya warna," ujar Purnama.
Bagi
yang ingin menjadi mitra, Sakasa menawarkan satu paket investasi
sebesar Rp 12,5 juta. Mitra akan mendapatkan pelatihan menyablon,
perlengkapan sablon, bahan baku kaus dan sweater, serta promosi.
Untuk
lokasi usaha, mitra harus menyediakan tempat seluas 3 meter (m) x 4 m
atau minimal 2 m x 3 m. "Yang penting bisa muat satu meja saja sudah
cukup," ujar Purnama.
Estimasi omzet mitra diperkirakan mencapai
Rp 11 juta per bulan. Mitra ditargetkan sudah balik modal dalam waktu
tiga bulan sejak beroperasi.
sumber : kompas.com
Mantan Penjaga Toko yang Sukses di Bra
Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal-Jalan Suryadi Sasmita menuju sukses terbilang panjang. Maklumlah, resep
sukses Suryadi terbilang sederhana: kerja, kerja, dan kerja. Ketekunan
Suryadi selama puluhan tahun tidak sia-sia jika melihat popularitas
merek pakaian dalam Wacoal.
Di balik nama besar pakaian dalam wanita ini ada kerja keras Suryadi Sasmita. Memulai usaha dari nol, Suryadi kini menikmati penjualan Wacoal yang selalu naik 30 persen per tahun.
Wacoal kini memiliki lebih dari 50 gerai. Angka itu belum termasuk ratusan gerai Wacoal yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan. “Kalau soal aset, sudah tentu bertambah bila dibandingkan dengan awal menjalankan usaha,” kata Suryadi, yang menyandang status sebagai Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal.
Ayah dari tiga orang ini kini memiliki sepuluh perusahaan di bidang garmen. Namun, kesuksesan itu tidak datang dengan mudah. Maklum, pria kelahiran Jakarta 12 April 1948 ini berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Suryadi menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus mengurus kelima adiknya. Faktor itulah yang menuntutnya untuk bekerja keras. Bersama sang ayah, dia membuka usaha konveksi tas. Sayang, usaha itu harus gulung tikar karena bangkrut.
Lulus SMA, Suryadi bekerja di toko tekstil di Pasar Pagi, Jakarta, sebagai penjaga toko. Untuk mendapatkan penghasilan lebih, ia bekerja hingga dua sif. Sikap kerja kerasnya ini menarik perhatian bosnya. Suryadi pun dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara. Sambil kuliah, ia tetap bekerja. Bahkan lebih keras bekerja, akibatnya dia tidak berkonsentrasi untuk kuliah.
Baru enam bulan duduk di bangku kuliah, Suryadi memilih keluar dan fokus bekerja. Maklum, ia harus membantu menghidupi keluarganya. Dari hasil bekerja di toko, Suryadi mampu membeli toko kecil di daerah Jembatan Lima. Toko itu dikelola oleh anggota keluarganya, sementara Suryadi tetap bekerja di Pasar Pagi.
Setelah empat tahun bekerja sebagai penjaga toko, Suryadi pindah jalur menjadi karyawan di pabrik perusahaan tekstil asal Jepang, C. Itoh. Di perusahaan tekstil kelas dunia itulah, Suryadi mengawali karier sebagai pengantar dokumen. “Saya merasa gaji saya terlalu besar kalau hanya bekerja sebagai pengantar dokumen. Saya pun memberanikan diri menghadap ke pimpinan perusahaan dan meminta pekerjaan saya ditambahi. Saya minta diizinkan berjualan benang,” tutur dia.
Permintaan Suryadi dipenuhi sang atasan. Ia pun merangkap tugas. Dari pagi hingga sore, ia menjadi pengantar dokumen. Begitu matahari beranjak ke barat hingga malam hari, Suryadi menjadi salesman. “Target penjualan setahun bisa saya penuhi dalam setengah tahun. Saya pun diangkat menjadi salesman,” tutur dia.
Bersamaan dengan karier yang melesat, jaringan Suryadi kian luas. Sekitar tahun 1976, Suryadi mampu mendirikan perusahaan trading bernama Moritex Trading Company. Tahun berikutnya, ia membuka usaha rajut (knitting) bernama Moritex Knitting. “Keduanya saya kelola bersamaan dan hanya saya cek di sore hari. Selama pagi hingga sore, saya masih bekerja sebagai sales representative di C. Itoh,” kenang dia.
Menjalin pertemanan
Baru setelah delapan tahun bekerja di C.Itoh, Suryadi mundur dan fokus ke perusahaannya. “Tiba-tiba, ada pelanggan saya yang menawarkan usaha lain. Pada 1980, dia menawarkan lisensi Wacoal yang diperolehnya,” ujar Suryadi.
Menjadi salesman merupakan kesempatan Suryadi membuka jaringan yang seluas-luasnya. “Prinsip saya, sales itu jangan hanya berdagang yang ada di kepala. Tapi, bagaimana memberikan informasi produk yang benar ke calon klien dan membangun pertemanan. Kalau mereka merasa puas, pasti akan pesan,” kata dia.
Dari jaringan itu, Suryadi dipercaya seorang pelanggannya untuk mengelola perusahaan pakaian dalam wanita asal Jepang bermerek Wacoal. “Dia menilai saya pekerja keras, jadi dia percaya jika saya yang pegang lisensi Wacoal,” ucapnya.
Ia pun menutup usaha trading dan knitting, serta fokus mengelola Wacoal. “Ternyata tidak mudah. Dalam lima tahun pertama, saya rugi,” kenangnya. Hal itu dikarenakan sulitnya memasarkan produk pakaian dalam yang harganya jauh lebih mahal daripada harga produk sejenis yang sudah ada. Apalagi, saat itu, belum banyak department store.
Suryadi pun mengerahkan keluarga dan jaringannya untuk mempromosikan Wacoal. Nama Wacoal perlahan terdengar. Di tahun ke enam, Wacoal akhirnya meraup untung. “Sepuluh tahun pertama, kami harus kerja keras memperkenalkan Wacoal. Hingga akhirnya di sepuluh tahun kedua, Wacoal mampu dipasarkan secara nasional,” terang Suryadi.
Memasuki dekade ketiga atau sekitar tahun 2000, Wacoal buatan Indonesia masuk ke pasar luar negeri. Dari pabrik seluas 2,7 ha, produk Wacoal kini mengalir ke sembilan negara. Masing-masing Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, Hong Kong, Taiwan, Jepang, China, dan Amerika Serikat.
sumber : kompas.com
Di balik nama besar pakaian dalam wanita ini ada kerja keras Suryadi Sasmita. Memulai usaha dari nol, Suryadi kini menikmati penjualan Wacoal yang selalu naik 30 persen per tahun.
Wacoal kini memiliki lebih dari 50 gerai. Angka itu belum termasuk ratusan gerai Wacoal yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan. “Kalau soal aset, sudah tentu bertambah bila dibandingkan dengan awal menjalankan usaha,” kata Suryadi, yang menyandang status sebagai Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal.
Ayah dari tiga orang ini kini memiliki sepuluh perusahaan di bidang garmen. Namun, kesuksesan itu tidak datang dengan mudah. Maklum, pria kelahiran Jakarta 12 April 1948 ini berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), Suryadi menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai anak lelaki tertua, ia harus mengurus kelima adiknya. Faktor itulah yang menuntutnya untuk bekerja keras. Bersama sang ayah, dia membuka usaha konveksi tas. Sayang, usaha itu harus gulung tikar karena bangkrut.
Lulus SMA, Suryadi bekerja di toko tekstil di Pasar Pagi, Jakarta, sebagai penjaga toko. Untuk mendapatkan penghasilan lebih, ia bekerja hingga dua sif. Sikap kerja kerasnya ini menarik perhatian bosnya. Suryadi pun dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara. Sambil kuliah, ia tetap bekerja. Bahkan lebih keras bekerja, akibatnya dia tidak berkonsentrasi untuk kuliah.
Baru enam bulan duduk di bangku kuliah, Suryadi memilih keluar dan fokus bekerja. Maklum, ia harus membantu menghidupi keluarganya. Dari hasil bekerja di toko, Suryadi mampu membeli toko kecil di daerah Jembatan Lima. Toko itu dikelola oleh anggota keluarganya, sementara Suryadi tetap bekerja di Pasar Pagi.
Setelah empat tahun bekerja sebagai penjaga toko, Suryadi pindah jalur menjadi karyawan di pabrik perusahaan tekstil asal Jepang, C. Itoh. Di perusahaan tekstil kelas dunia itulah, Suryadi mengawali karier sebagai pengantar dokumen. “Saya merasa gaji saya terlalu besar kalau hanya bekerja sebagai pengantar dokumen. Saya pun memberanikan diri menghadap ke pimpinan perusahaan dan meminta pekerjaan saya ditambahi. Saya minta diizinkan berjualan benang,” tutur dia.
Permintaan Suryadi dipenuhi sang atasan. Ia pun merangkap tugas. Dari pagi hingga sore, ia menjadi pengantar dokumen. Begitu matahari beranjak ke barat hingga malam hari, Suryadi menjadi salesman. “Target penjualan setahun bisa saya penuhi dalam setengah tahun. Saya pun diangkat menjadi salesman,” tutur dia.
Bersamaan dengan karier yang melesat, jaringan Suryadi kian luas. Sekitar tahun 1976, Suryadi mampu mendirikan perusahaan trading bernama Moritex Trading Company. Tahun berikutnya, ia membuka usaha rajut (knitting) bernama Moritex Knitting. “Keduanya saya kelola bersamaan dan hanya saya cek di sore hari. Selama pagi hingga sore, saya masih bekerja sebagai sales representative di C. Itoh,” kenang dia.
Menjalin pertemanan
Baru setelah delapan tahun bekerja di C.Itoh, Suryadi mundur dan fokus ke perusahaannya. “Tiba-tiba, ada pelanggan saya yang menawarkan usaha lain. Pada 1980, dia menawarkan lisensi Wacoal yang diperolehnya,” ujar Suryadi.
Menjadi salesman merupakan kesempatan Suryadi membuka jaringan yang seluas-luasnya. “Prinsip saya, sales itu jangan hanya berdagang yang ada di kepala. Tapi, bagaimana memberikan informasi produk yang benar ke calon klien dan membangun pertemanan. Kalau mereka merasa puas, pasti akan pesan,” kata dia.
Dari jaringan itu, Suryadi dipercaya seorang pelanggannya untuk mengelola perusahaan pakaian dalam wanita asal Jepang bermerek Wacoal. “Dia menilai saya pekerja keras, jadi dia percaya jika saya yang pegang lisensi Wacoal,” ucapnya.
Ia pun menutup usaha trading dan knitting, serta fokus mengelola Wacoal. “Ternyata tidak mudah. Dalam lima tahun pertama, saya rugi,” kenangnya. Hal itu dikarenakan sulitnya memasarkan produk pakaian dalam yang harganya jauh lebih mahal daripada harga produk sejenis yang sudah ada. Apalagi, saat itu, belum banyak department store.
Suryadi pun mengerahkan keluarga dan jaringannya untuk mempromosikan Wacoal. Nama Wacoal perlahan terdengar. Di tahun ke enam, Wacoal akhirnya meraup untung. “Sepuluh tahun pertama, kami harus kerja keras memperkenalkan Wacoal. Hingga akhirnya di sepuluh tahun kedua, Wacoal mampu dipasarkan secara nasional,” terang Suryadi.
Memasuki dekade ketiga atau sekitar tahun 2000, Wacoal buatan Indonesia masuk ke pasar luar negeri. Dari pabrik seluas 2,7 ha, produk Wacoal kini mengalir ke sembilan negara. Masing-masing Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, Hong Kong, Taiwan, Jepang, China, dan Amerika Serikat.
sumber : kompas.com
Editor : Erlangga Djumena
Kotoran Sapi Beromzet
Okkyab.blogspot.com- Kotoran sapi tidak hanya bermanfaat sebagai bahan
baku utama kompos, tetapi bisa juga menjadi bahan baku pembuatan
gerabah, batu bata, dan kerajinan tangan. Syammahfuz Chazali sudah
membuktikan dan menjadi tambang emasnya. Ia meraup omzet Rp 110 juta per
bulan.
Siapa yang tidak jijik melihat kotoran sapi? Tapi, tak
banyak orang menyangka, kotoran ini punya banyak manfaat. Tidak hanya
sebagai bahan baku pupuk kompos, tapi juga aneka kerajinan tangan dan
batu bata.
Di tangan Syammahfuz Chazali, kotoran sapi bisa
menjelma menjadi perkakas rumah tangga, batu bata, dan bermacam
kerajinan tangan atau handicraft.
Melalui PT Faerumnesia
7G, Syam, panggilan akrab Syammahfuz Chazali, saban bulan memproduksi 75
hingga 100 gerabah, 500 batu bata, dan ratusan jenis kerajinan tangan,
seperti lampu aladin, vas bunga, guci, serta tempat makan. Harga gerabah
dan kerajinan tangan mulai Rp 100.000 hingga Rp 750.000 per item. Ia pun sanggup meraih omzet Rp 110 juta per bulan.
Atas
prestasinya mengembangkan usaha dengan bahan baku kotoran sapi, pria 26
tahun ini menyabet juara satu Social Venture Competition tingkat dunia
di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tahun 2009 lalu.
Prestasi
ini sangat membanggakan. Selama 10 tahun ajang itu digelar, belum
pernah ada tim perguruan tinggi dari luar negeri Paman Sam yang sukses
menggondol juara pertama dan berhak atas uang sebesar 25.000 dollar AS.
Syam
yang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada mulai menekuni
bisnis berbasis kotoran sapi sejak 2006. Awalnya, dia sekadar ingin
mengikuti perlombaan kreativitas di kampusnya. Apalagi, ia melihat
kotoran sapi selama ini belum terkelola dengan baik.
Padahal,
banyak peternakan yang berada di daerah pemukiman yang limbahnya tidak
terkelola dengan benar. Tentu saja, ini akan menjadi sumber pencemaran
lingkungan berupa bau tak sedap yang dapat mengundang lalat yang
kemudian akan menyebarkan kotoran tersebut.
Selain pencemaran
udara, kotoran sapi juga bisa menimbulkan pencemaran air. Soalnya,
banyak kotoran sapi yang dibuang begitu saja ke sungai oleh para
peternak. Lagi-lagi, tentu saja, pencemaran tersebut bisa menimbulkan
beragam penyakit.
Berangkat dari situ, Syam kemudian mencari tahu
lebih banyak mengenai kandungan kotoran sapi melalui pelbagai literatur.
Akhirnya, ia menemukan, dalam setiap 1 kilogram kotoran sapi terdapat
kandungan silika sebesar 9,6 persen. Silika merupakan suatu senyawa yang
bisa diolah menjadi bahan baku untuk gerabah dan batu bata.
Syam
pun berkonsultasi dengan para dosennya dan pihak-pihak lain yang
berkecimpung di dunia pengolahan limbah hewan mengenai kelanjutan bisnis
berbasis kotoran sapi. "Waktu itu, tidak sedikit yang meragukan peluang
bisnis ini," ungkap Syam.
Beragam eksperimen ia lakukan. Dengan
kegigihan dan konsistensinya, usaha Syam mulai berbuah hasil. Bahkan,
banyak orang menilai, produk batu bata dan gerabah buatannya lebih
halus, ringan, dan kuat.
Proses pembuatannya juga tidak begitu
rumit. Kotoran sapi cukup dicampur dengan tanah keras dan ditambahkan
formula bio-aktivasi berupa faerumnesia. Kemudian, biarkan selama dua
sampai tiga minggu hingga berbentuk seperti tanah liat.
Fungsi
formula faerumnesia adalah meningkatkan kadar silika dalam kotoran sapi
sehingga bisa digunakan sebagai bahan baku. Formula ini juga berfungsi
untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari kotoran sapi tersebut.
Setelah
berbentuk tanah liat, bahan ini bebas dibentuk sesuai keinginan. Apakah
mau dibentuk batu bata, gerabah, maupun kerajinan tangan. "Satu ton
limbah sapi bisa untuk membuat 500-900 batu bata," kata Syam.
Prosesnya
juga sama dengan pembuatan gerabah pada umumnya, mulai dari
pembentukan, penjemuran, pembakaran, hingga penyempurnaan. Begitu juga
waktu yang diperlukan dari proses pembentukan, penjemuran, pembakaran
hingga penyempurnaan, juga sama, hanya satu setengah bulan.
Menurut Syam, bahan baku dari olahan kotoran sapi mampu bertahan pada suhu 1.000 derajat celsius.
Saat
ini, Syam sudah memasok produk gerabah, batu bata, dan kerajinan
bikinannya hampir ke seluruh Indonesia. Untuk kerajinan tangan,
permintaan paling banyak dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kebanyakan
pembeli mencari sebagai pajangan di dalam rumah atau untuk suvenir.
"Untuk produk lampu aladin, artis Dorce dan Wulan Guritno merupakan
konsumen kami," ujar Syam bangga.
Produk kerajinan tangan buatan
Syam siap menembus pasar ekspor. Akhir 2010 lalu, ada pengusaha asal
Belanda yang tertarik untuk bekerja sama. Pengusaha ini menyatakan,
olahan kotoran sapi juga bisa sebagai isolator sehingga tahan untuk
empat musim.
Syam sudah mulai mengirimkan beberapa produknya ke
negeri kincir angin tersebut sebagai sampel. Jika kerja sama tersebut
berjalan lancar, ia akan mulai secara rutin mengekspor produknya dalam
jumlah besar.
Dengan meningkatkan promosi dan pemberian informasi
yang benar kepada masyarakat luas, Syam yakin bisnis berbasis kotoran
sapi ini akan terus memberikan keuntungan. Prinsip utamanya adalah
mengubah masalah menjadi sebuah keuntungan. "Sambil mengurangi limbah,
kita juga bisa meraih keuntungan yang menjanjikan," ujarnya.
Promosi
menjadi penting lantaran satu-satunya hambatan para konsumen adalah
mereka masih ragu dengan aroma yang tidak sedap yang akan muncul dari
produk-produk berbahan baku kotoran sapi.
Padahal, seluruh
pelanggan produk-produk buatan Sam sudah tegas-tegas menyatakan, hasil
olahan limbah sapi itu benar-benar sudah terbebas dari bau tak sedap.
Toh, masih ada orang yang ragu dan tidak percaya.
Kini, selain
aktif mempromosikan melalui internet, Syam juga kerap ikut pameran skala
nasional maupun internasional. Syam bahkan sudah mempromosikan
produk-produknya di China dan Australia.
Sumber :
Kompas.com
Kompas.com
Editor : Erlangga Djumena
Broker Waralaba
Okkyab.blogspot.com-Bisnis waralaba terus menggeliat dalam
beberapa tahun terakhir. Minat orang terhadap waralaba ini juga membawa
berkah bagi para broker atau agen pemasaran waralaba. Tak heran, bila
bisnis broker waralaba semakin moncer.
Biasanya, selain bisnis waralaba, broker ini juga memasarkan bisnis dengan skema kemitraan atau business opportunity (BO). Salah satu pemain yang berprofesi sebagai broker waralaba adalah Sidik Rizal di Jakarta.Ia
telah terjun ke bisnis ini sejak tahun 2008. Sebelum bergelut dengan
dunia broker waralaba, ia bekerja sebagai seorang desain grafis di
perusahaan biro periklanan. Namun, karena tak suka menjadi karyawan, ia
pun terpikir membuat usaha sendiri.Awalnya, Sidik fokus
menawarkan keahliannya membuat website ke sejumlah pelaku usaha.
Kebetulan, banyak kliennnya yang menawarkan kerjasama waralaba dan
kemitraan.
Salah satu kliennya pertamanya adalah Pecel Lele Lela.
Setelah kerap membuatkan website, Rizal pun semakin akrab dengan dunia
usaha. Ia banyak belajar mengenai waralaba dan kemitraan.
Sejak itu, bisnisnya berkembang dari sekadar membuatkan website menjadi broker franchise.
Untuk menjaring klien, Rizal getol mendekati para pelaku usaha. Ia
menceritakan, pada awal-awal menjadi broker, dirinya sempat berkeliling
di daerah Bekasi, Jawa Barat, guna mencari klien.
Jika melihat
ada usaha yang prospek dikembangkan, Rizal mengajak si pemilik usaha
untuk bekerjasama mengembangkan bisnis melalui skema waralaba.
Sebagai
seorang broker, Rizal akan memoles usaha tersebut agar menarik
ditawarkan ke para investor. Secara teknis, banyak hal yang
dilakukannya demi memperbaiki citra usaha yang akan dijualnya.
Di antaranya, membuatkan standar operasional untuk usaha tersebut, termasuk membantu mengubah manajemen usahanya.
Selain
itu, fungsi broker ini membantu menyediakan karyawan sesuai kebutuhan.
Rizal juga membuatkan konsep desain interior yang baru ke kliennya.
Terakhir,
tentu saja membuatkan website. Setelah semuanya siap, barulah Rizal
memasarkan usaha tersebut. Ada satu tips yang dimilikinya agar usaha
kliennya bisa berkembang dalam konsep kemitraan.
Yakni,
memaksimalkan peran media sebagai saluran pemasaran, baik media
elektronik maupun internet. Menurut Rizal, proses yang dibutuhkan untuk
mengubah usaha biasa menjadi waralaba sekitar satu bulan sampai tujuh
bulan. Biaya yang dipungut sebagai broker sangat bervariatif. Untuk usaha kecil yang mengusung konsep booth, Rizal biasanya memungut biaya antara Rp 5 juta– Rp 15 juta.
Biaya untuk usaha menengah sekitar puluhan juta, dan kelas restoran bisa sampai ratusan juta. "Untuk kelas restoran ini, biaya paling mahal sampai Rp 500 juta per paket," tutur Rizal.
Di
luar itu, Rizal juga mendapat komisi dari setiap investor yang
bergabung sebagai terwaralaba atau mitra. Besaran komisinya 5 persen–10
persen dari nilai paket investasi. Dari usaha ini, Rizal bisa
mengantongi omzet Rp 100 juta per bulan. Agen waralaba lainnya
adalah Mulyadi Handojo, Komisaris PT Mahir Food di Jakarta. Berdiri
tahun 2012, perusahaan anyar ini langsung menggandeng PT Best Waralaba
sebagai perusahaan agen waralaba yang sudah senior di bisnis broker
waralaba.
Best Waralaba sendiri sudah sukses memasarkan beberapa
usaha, seperti Jupe Fried Chicken, Rocket Fried Chicken, dan Tokiyo
Bento. Kebanyakan usaha itu milik para artis dan publik figur.
Bekerjasama
dengan Best Waralaba, Mahir Food juga fokus memasarkan usaha yang
dimiliki para artis dan publik figur. Mereka memilih memasarkan usaha
artis karena cepat berkembangnya dibanding orang biasa.
Sebagai
broker, Mahir Food tidak hanya memoles sebuah usaha agar menarik
ditawarkan ke para investor. Tapi juga membuatkan usaha bagi para artis
tersebut.
Jadi, saat ditawari kerjasama, banyak artis yang sebenarnya belum memiliki usaha. "Usahanya kami buatkan sendiri," katanya. Cuma,
sudah ada kesepakatan sebelumnya bahwa si artis bersedia menanamkan
modal dan membolehkan namanya dipakai sebagai brand usaha. Sebagai
payung hukum, nanti dibuat PT atau CV yang menaungi brand tersebut.
Saat ini, misalnya, Mulyadi sedang menjajaki kerjasama dengan presenter terkenal Chantal Della Concetta untuk membuka rumahs makan teak (steik). "Nanti diluncurkan awal 2013," katanya.
Kata Mulyadi, butuh waktu tiga bulan sampai usaha kuliner
ini bisa diluncurkan. Mulyadi menunggu setahun agar omzetnya jelas dan
terbukti manajemen bisa berjalan lancar baru menawarkan kemitraan.
Mahir Food berhak atas 40 persen saham perusahaan itu.
Sumber : kompas.com